Wednesday, April 16, 2014
Booklicious : Let the Revolution Begin..
Monday, April 7, 2014
Booklicious : Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan
“Ada keresahan yg tak sanggup kita obati, meski telah mendatangi psikolog dan majelis-majelis wirid. Kita datang karena ingin mencari keasyikan menangis, bukan sungguh-sungguh mengingat Nya. Kita menyangka menemukan spiritualitas, padahal sesungguhnya hanyalah rekayasa spiritual. Karena tanda orang yang takut kepada Allah adalah menangis saat beribadah, maka kita berusaha meraih tandanya. Tidak lebih. Sebagaimana dasi yv telah menjadi simbol eksekutif, tetapi karena hanya diambil simbolnya, sekarang penjual pisau keliling pun pakai dasi.
Kita ambil bungkus, tetapi tanpa isi. Di saat seperti ini, perputaran informasi yg amat cepat akan semakin menenggelamkan kita dalam kebisingan. Kita merasa kesepian di saat dunia justru begitu hiruk pikuk.' (Mohammad Fauzil Adhim).
M. Fauzil Adhim adalah teman lama yang sudah termasuk saudara sekaligus guru saya. Pertama mengenal beliau dari buku yang 'membakar' semangat untuk menikah saat masih bujangan, judul bukunya 'Kupinang Engkau dengan Hamdalah'. Setelah itu takdir ternyata menjadikan kami sering bertemu. Tampil bersama dalam acara bedah buku atau seminar, hingga makan, jalan dan menginap bersama. Saat paling berkesan adalah ketika beliau berkenan menginap di gubug saya yang sederhana, sungguh saya mendapat berkah dengan nasehat dan taujihnya yang mengetuk kalbu. Juga saat saya bisa menjadi sopir sekaligus guide, sehingga punya kesempatan untuk menyerap banyak ilmu dari tuturnya yang penuh hikmah.
Buku setebal 342 halaman ini adalah kumpulan tulisan beliau dalam renungan-renungan Jum’at yang rutin dikirimnya di Harian Republika.
“Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukkan.”
Judul tersebut mewakili kumpulan tulisan yang termuat di dalamnya. Berisi tentang nasihat-nasihat, Fauzhil Adhim dengan caranya bertuturnya seakan tengah berbicara dengan kita yang membaca, tanpa ada kesan menggurui. Buku ini lebih berkesan sebagai ajakan untuk memahami agama dari sudut pandang yang sering tak terduga oleh kita.
Pada hari ini, ketenangan seolah menjadi barang langkah yang sulit ditemukan. Tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan duit dalam jumlah yang besar untuk mendapatkan ketenangan batin. Mengikuti kegiatan ini dan itu, mengahdiri meditasi sana-sini, mengikuti acara-acara yang membuatnya mengeluarkan air mata. Sayang, setelah sejumlah rangkaian kegiatan-kegiatan tadi, hati kembali gersang dan sempit, dada berasa sesak, kembali terasa ada yang kurang.
Di zaman yang semakin kompetitif, semua orang dituntut untuk bekerja cepat, kecakapan diri mau tak mau mesti selalu ditingkatkan, karir menjadi barang mewah yang selalu dikejar tanpa lelah, pemasukan keuangan terus diburu, mesti tanpa sadar banyak yang harus dikorbankan. Pada kondisi ini, ketenangan batin menjadi barang langkah yang sulit ditemukan, ibadah menjadi rutinitas yang tak mampu mengisi ruang hati yang merasakan dahaga teramat sangat.
Begitulah Fauzhil Adhim mengantarkan kita diawal-awak pembukaan buku ini. Bahwa ditengah kesibukan yang menyita, kita perlu perlu sejenak meluangkan waktu untuk merenung. Bermuhasabah, mengevaluasi diri tentang pencapaian-pencapaian kita sejauh ini. Sebab jangan-jangan, semua kesuksesan yang kita dapatkan hari ini, ternyata harus berbayar mahal dengan semakin jauhnya kita dengan hidayah.
Kolomnis Majalah Hidayatullah ini, lewat tulisan-tulisan di dalamnya tidak jarang akan membuat kita terbelalak sambil menganggukan kepala tanda setuju, sembari mengajak kita untuk merenung dengan sendirinya. Wawasan penulis yang luas tentang sejarah Islam menjadi kekuatan buku ini. Kita akan dikisahkan tentang banyak dialog, sejumlah kejadian yang pernah terjadi saat zaman-zaman awal Islam berdiri, dan selanjutnya kita akan dibawa pada realitas kondisi kita hari ini.
Lewat buku ini, kita akan diperlihatkan betapa cahaya peradaban ini tidak semata-semata mengandalkan kekuatan harta, bukan pula mengandalkan superior kekuasaan, sebab memang demikianlah adanya. Semuanya dibangun oleh jiwa yang kokoh, pemikiran yang matang, mental yang dapat diandalkan dan hati yang teguh.
Jika kesunyian tak mampu menghadirkan ketenangan, jika sujud dan ruku' kita tak lagi mendatangkan ketenteraman dan kesejukan jiwa, ada yang perlu kita tengok dalam diri kita. Kita perlu mengambil jarak dan melakukan hentian sejenak dari kesibukan-kesibukan yang terus memacu kita untuk berlari. Kita perlu mencari kejernihan di tengah hiruk-pikuk kehidupan maupun mimpi-mimpi kita…
Jika bertambahnya rezeki tak menambah kebahagiaan, ketenangan dan kekhusyukan, ada yang perlu kita periksa sejenak. Atas sedekah dan ibadah kita, ada yang perlu kita cermati dengan jernih barangkali ada salah niat yang terselip. Atas berlimpahnya harta yang tak menambah keteduhan hati dan kesejukan jiwa, ada yang perlu kita renungi; tentang diri sendiri, tentang tetangga kita, tentang do'a-do'a kita serta berbagai hal yang berkaitan hubungan kita dengan Allah Ta'ala maupun hubungan dengan sesama.
Jika Elizabeth Gilberth dalam novel eat, pray, and love berjalan ke Italia, India dan Indonesia untuk menemukan jati diri dan ketenangan jiwanya sebagai perempuan. mungkin akan mendapatkan jawabannya jika membaca buku Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan ini. :)
Selamat membaca dan temukan ketenangan, meski seberapa hiruk pikuknya kehidupan Anda.