Suatu hari di pelabuhan, seorang saudagar membawa barang-barang dagangannya dalam jumlah yang cukup banyak. Dia mencari-cari siapa yang bisa membantu membawa barang-barangnya ke tokonya. Setelah ada seorang yang mau menjadi kuli panggul maka iapun menyerahkan semua barangnya untuk diangkat sampai ke tokonya.
Sepanjang jalan saudagar tersebut heran kenapa orang-orang banyak melihatnya dengan pandangan yang aneh. Hingga sampai ditempatnya ia mengucapkan terima kasih dan membayar sang kuli panggul secukupnya. Ketika dia tanya ke orang-orang di sekitarnya kenapa orang-orang sepanjang jalan memandang dia dengan aneh, mereka malah kembali bertanya, “Kamu kenal tidak dengan orang yang membawa barang-barangmu tadi?”. Sang saudagar menggeleng tanda jawaban tidak. Orang-orang menjawab “Beliau adalah Gubernur kita.” (Gubernur Kuli Panggul, Chichi Sukardjo).
Begitulah penggalan kisah dari salah satu kisah di buku mungil terbitan lama yang berjudul “Gubernur Kuli Panggul” yang berisi kisah-kisah renungan dan cerita inspirasi lainnya. Kisah ini pula yang menginspirasi saya membuat tulisan ini.
Pada buku yang lain ‘Belajar Dari Dua Umar’ yang disusun sahabat saya Hepi Andi Bastoni, saya menemukan kisah yang sungguh-sungguh menggetarkan hati.
Suatu hari Amirul Mukminin menerima kiriman makanan yang diberi nama habish. Sebuah makanan yang rasanya manis, jenis makanan paling enak di Azerbaijan, yang dikirim oleh gubernur disana. Merasakan nikmatnya makanan itu Sang Umar menanyakan kepada utusan gubernur, apakah semua rakyat disana memakan makanan seperti itu atau tidak.
“Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya.” Jawab utusan itu gugup.
Wajah sang khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memerintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negerinya, Kepada gubernur ia menulis surat, “….. Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu.”
Umar bin Khaththab telah memberikan pelajaran teramat berarti. Pemimpin harus memikirkan rakyat sebelum dirinya sendiri. Dalam kesempatan lain Umar pernah menyatakan, “Saya orang pertama yang merasakan lapar kalau rakyat kelaparan dan orang terakhir yang merasakan kenyang kalau mereka kenyang.”
Pemimpin adalah pelayan bagi umat. Pejabat adalah pelayan masyarakat. Penjual adalah pelayan bagi pelanggan. Ini telah menjadi kesepakatan tidak tertulis dalam setiap sisi kehidupan. Dalam satu masa pemahaman ini mengalami distorsi. Bahkan tidak jarang pemimpin yang minta dilayani.
Lihatlah ketika ada kunjungan kerja dari pejabat pusat atau level lebih tinggi. Jajaran yang lebih rendah sibuk memberikan pelayanan terbaik, dari penjemputan, penyediaan tempat tinggal, kelengkapan akomodasi hingga membawakan tasnya, menyertakan oleh-oleh sampai ‘uang lelah’.
Pelayanan kepentingan masyarakat menjadi sangat sulit. Membuat passport, membuat KTP, SIM, mengurus perijinan sampai pernikahan dan perceraian semuanya serba sulit. Bahkan urusan mengubur jenazah harus membayar sejumlah uang agar semua berjalan dengan mudah. Pajak harus dibayar setiap waktu tapi pelayanan publik memprihatinkan. Sebagaimana pajak penerangan jalan yang dibayar setiap bulan namun kampung kita tetap kegelapan.
Seandainya ada pemimpin seperti Umar bin Khatab yang rela berkeliling melakukan pengawasan langsung terhadap keadaan rakyatnya. Atau presiden seperti Syafrudin Prawiranegara yang tidak tamak dengan kekuasaan. Pejabat seperti Hamka yang selalu sederhana. Panglima zuhud sebagaimana Sudirman. Tentu jiwa pelayanan kepentingan umat akan menjadi prioritas utama.
Kesadaran melayani orang lain adalah praktik yang telah dilakukan sejak dulu sampai sekarang. Bahkan telah dicontohkan para nabi. Melayani dengan ketulusan, membantu orang untuk fokus pada kekuatan yang dimiliki, membantu orang dalam menyelesaikan masalah adalah praktik-praktik melayani yang memiliki kemuliaan.
Book lovers, tulisan ini saya sampaikan untuk menyepakati bersama bahwa diperlukan pemimpin yang adil dan mandiri untuk membebaskan rakyat dari keterpurukan. Kesejahteraan yang terjadi di masa Umar bin Abdul Azis bukan hanya lantaran meningkatnya penghasilan rakyat, tapi juga tersebarnya kekayaan secara adil. Tanpa pemimpin yang adil dan peduli, kita tidak bisa berharap rakyat akan sejahtera.
Sepanjang jalan saudagar tersebut heran kenapa orang-orang banyak melihatnya dengan pandangan yang aneh. Hingga sampai ditempatnya ia mengucapkan terima kasih dan membayar sang kuli panggul secukupnya. Ketika dia tanya ke orang-orang di sekitarnya kenapa orang-orang sepanjang jalan memandang dia dengan aneh, mereka malah kembali bertanya, “Kamu kenal tidak dengan orang yang membawa barang-barangmu tadi?”. Sang saudagar menggeleng tanda jawaban tidak. Orang-orang menjawab “Beliau adalah Gubernur kita.” (Gubernur Kuli Panggul, Chichi Sukardjo).
Begitulah penggalan kisah dari salah satu kisah di buku mungil terbitan lama yang berjudul “Gubernur Kuli Panggul” yang berisi kisah-kisah renungan dan cerita inspirasi lainnya. Kisah ini pula yang menginspirasi saya membuat tulisan ini.
Pada buku yang lain ‘Belajar Dari Dua Umar’ yang disusun sahabat saya Hepi Andi Bastoni, saya menemukan kisah yang sungguh-sungguh menggetarkan hati.
Suatu hari Amirul Mukminin menerima kiriman makanan yang diberi nama habish. Sebuah makanan yang rasanya manis, jenis makanan paling enak di Azerbaijan, yang dikirim oleh gubernur disana. Merasakan nikmatnya makanan itu Sang Umar menanyakan kepada utusan gubernur, apakah semua rakyat disana memakan makanan seperti itu atau tidak.
“Tidak. Tidak semua bisa menikmatinya.” Jawab utusan itu gugup.
Wajah sang khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memerintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negerinya, Kepada gubernur ia menulis surat, “….. Makanan semanis dan selezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu.”
Umar bin Khaththab telah memberikan pelajaran teramat berarti. Pemimpin harus memikirkan rakyat sebelum dirinya sendiri. Dalam kesempatan lain Umar pernah menyatakan, “Saya orang pertama yang merasakan lapar kalau rakyat kelaparan dan orang terakhir yang merasakan kenyang kalau mereka kenyang.”
Pemimpin adalah pelayan bagi umat. Pejabat adalah pelayan masyarakat. Penjual adalah pelayan bagi pelanggan. Ini telah menjadi kesepakatan tidak tertulis dalam setiap sisi kehidupan. Dalam satu masa pemahaman ini mengalami distorsi. Bahkan tidak jarang pemimpin yang minta dilayani.
Lihatlah ketika ada kunjungan kerja dari pejabat pusat atau level lebih tinggi. Jajaran yang lebih rendah sibuk memberikan pelayanan terbaik, dari penjemputan, penyediaan tempat tinggal, kelengkapan akomodasi hingga membawakan tasnya, menyertakan oleh-oleh sampai ‘uang lelah’.
Pelayanan kepentingan masyarakat menjadi sangat sulit. Membuat passport, membuat KTP, SIM, mengurus perijinan sampai pernikahan dan perceraian semuanya serba sulit. Bahkan urusan mengubur jenazah harus membayar sejumlah uang agar semua berjalan dengan mudah. Pajak harus dibayar setiap waktu tapi pelayanan publik memprihatinkan. Sebagaimana pajak penerangan jalan yang dibayar setiap bulan namun kampung kita tetap kegelapan.
Seandainya ada pemimpin seperti Umar bin Khatab yang rela berkeliling melakukan pengawasan langsung terhadap keadaan rakyatnya. Atau presiden seperti Syafrudin Prawiranegara yang tidak tamak dengan kekuasaan. Pejabat seperti Hamka yang selalu sederhana. Panglima zuhud sebagaimana Sudirman. Tentu jiwa pelayanan kepentingan umat akan menjadi prioritas utama.
Kesadaran melayani orang lain adalah praktik yang telah dilakukan sejak dulu sampai sekarang. Bahkan telah dicontohkan para nabi. Melayani dengan ketulusan, membantu orang untuk fokus pada kekuatan yang dimiliki, membantu orang dalam menyelesaikan masalah adalah praktik-praktik melayani yang memiliki kemuliaan.
Book lovers, tulisan ini saya sampaikan untuk menyepakati bersama bahwa diperlukan pemimpin yang adil dan mandiri untuk membebaskan rakyat dari keterpurukan. Kesejahteraan yang terjadi di masa Umar bin Abdul Azis bukan hanya lantaran meningkatnya penghasilan rakyat, tapi juga tersebarnya kekayaan secara adil. Tanpa pemimpin yang adil dan peduli, kita tidak bisa berharap rakyat akan sejahtera.
Selamat bersiap memilih pemimpin!
JUMADI SUBUR
Penulis Buku "Employee Revolution" dan "99 Ideas for Happy Life"
Author & Career Coach
Web : www.MerancangMasaDepan.com
www.tentangkarir.com
HP. 0855.6500.888 / Pin:27cc02ac
twitter : @jumadisubur
No comments:
Post a Comment